FPPD - Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

Mengorganisir dan Menggerakkan BUM Desa

Tidak mudah merealisasikan tata kelola BUM Desa sebagaimana diharapkan sejak awal, yakni menjadi lokomotif ekonomi di desa. Tidak kurang pula semangat telah dipompakan oleh penggagas, pendamping dan pengelola. Meski begitu BUM Desa ternyata dapat menjadi lembaga yang berdaya guna, yaitu menjadi tempat belajar dan meningkatkan kapasitas pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Walau belum ada keuntungan finansial yang berarti dari modal yang telah dikucurkan, tetapi lembaga ini telah menjadi wadah belajar bagi banyak pihak. BUM Desa bersama para penggeraknya cukup berhasil menyiapkan aktor-aktor desa yang siap menjadi mitra pemerintah dalam mengelola program pembangunan. 

Sementara itu BPMPD dengan segenap jajarannya merupakan pendorong untuk  menyukseskan program pemerintah Kabupaten. Tugas BPMPD tidaklah ringan. Sebagai pelaksana kebijakan lembaga ini harus berhadapan dengan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan BUM Desa dari tingkat kabupaten hingga warga masyarakat. Sejak awal BUM Desa terlanjur dianggap sebagai proyek milik BPMPD. Hal ini menyebabkan dalam pelaksanaanya tidak jarang program BUM Desa bersinggungan dengan program dinas/SKPD. 

Dalam melakukan koordinasi akan lebih baik sejak awal melibatkan pihak kecamatan, sehingga koordinasi wilayah akan lebih mudah. Pembagian per wilayah kecamatan ini penting untuk mengatasi tumpang tindih unit usaha yang cenderung seragam. Sering terjadi koordinasi terjalin langsung antara pengelola dengan Bupati.  Barangkali ada baiknya koordinasi antar wilayah dilakukan, mengingat bahwa ternyata beberapa BUM Desa memang memiliki kebutuhan yang saling menunjang. Misalnya, BUM Desa X yang mengusahakan pembelian kapuk petani. Oleh karena BUM Desa X belum menguasai teknik pengolahan kapuk maka kemudian kapuk didistribusikan ke BUM Desa Y yang menjadi sentra produksi kasur. Koordinasi antar wilayah seperti ini dapat memperkuat kerjasama antar BUM Desa. Kendala koordinasi juga terjadi di tingkat pengelola BUM Desa. 

Bagan struktur organisasi BUM Desa sebenarnya cukup sederhana. Tugas pokok dan fungsi masing-masing bagian juga sudah diatur sedemikian rupa agar semua dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Namun demikian membangun koordinasi di antara para pengurus tidak semudah membuat bagannya. Ada beberapa problem yang dicatat para pendamping menyangkut kurang harmonisnya hubungan antar pengurus di beberapa BUM Desa. Di kalangan pengelola BUM Desa (direksi, komisaris, dan badan pengawas) belum terjadi relasi yang ideal bagi kondisi tumbuhkembangnya BUM Desa. Antara pengurus satu dengan yang lain masih ada kecurigaan karena tidak terjadi komunikasi yang baik. Demikian juga problem administrasi keuangan sering menjadi pemicu masalah, kekacauan administrasi keuangan adalah awal dari kekacauan BUM Desa. 

Dari semua persoalan di lingkup pengurus BUM Desa, yang paling serius adalah kualitas dan kapasitas direktur. Ketokohan seseorang yang membuatnya terpilih sebagai direktur tidak serta merta menjamin adanya kapasitas kewirausahaan. Seseorang yang dianggap memiliki karisma dan ketokohan, belum tentu memiliki kemampuan wirausaha yang memadai untuk mengelola lembaga bisnis. Pengalaman di salah satu BUM Desa, direktur dengan kapasitas
yang tidak memadai gagal menjalankan perannya dan menyebabkan BUM Desa merugi. Selain rugi, rantai koordinasi lembaga juga rusak, bukan karena adanya niat yang kurang baik, tetapi karena ketidaktahuan.

Kendala tata kelola yang serius lainnya adalah personifikasi BUM Desa dengan kepala desa selaku komisaris BUM Desa. Kepala desa sebagai komisaris (ex officio) pada saat tertentu tidak bisa memisahkan perannya sebagai kepala desa dan perannya sebagai komisaris. Hal
ini berimbas pada otoritas yang menumpuk pada pribadi komisaris yang menghambat komunikasi dan inisiatif. Bibit masalah seperti ini jika dibiarkan akan menyebar ke pengurus
lainnya, sehingga BUM Desa dilihat identik sebagai milik kepala desa dan dikelola oleh orang-orang dekatnya. Personifikasi seperti ini kemudian membentuk pola patronklien dalam proses pemanfaatan BUM Desa, sehingga usaha yang dikembangkan tidak bisa dinikmati secara maksimal oleh banyak warga.

Di kelembagaan tingkat kabupaten kerancuan tata kelola juga mengakibatkan terhambatnya usaha BUM Desa. Persepsi bahwa BPMPD adalah “induk” dari BUM Desa membuat beberapa SKPD tidak bisa terhubung dengan hasil-hasil yang diraih BUM Desa. Unit usaha produksi kompos yang di awal produksi cukup menjanjikan, akhirnya macet karena kelompok tani sebagai pasar utama kompos tidak bisa membayar akibat tidak mendapat persetujuan pembayaran dari Dinas Pertanian. Dalam kasus ini program peningkatan hasil panen tidak terhubung dengan produksi kompos karena masih mengandalkan pupuk kimia.
Masalah seperti ini bukan disebabkan oleh adanya keengganan, melainkan orientasi masing-masing SKPD tidak berada pada jalur visi atau tujuan yang sama. Pada akhirnya BUM Desa sebagai lembaga baru yang belum mapan menjadi korban. 

Dalam proses pendampingan, BUM Desa sejak dibentuk  secara massif mengalami dinamika yang pasang surut. Ketika pertama kali mendampingi BUM Desa menempatkan banyak pendamping tetapi di tahap selanjutnya terjadi pasang surut karena proses mendampingi BUM Desa masih dianggap sebagai ajang belajar, sehingga tidak jarang terjadi pergantian personil di tengah jalan. Selain itu faktor adanya kerja sampingan menjadi penyebab pendamping tidak fokus pada tugasnya. “Tidak jarang Pendamping lebih mengutamakan ibadah sunnah daripada tugas wajibnya. Ibadah sunnah bisa mereka selesaikan dalam seminggu, tetapi ibadah wajibnya terbengkalai.”

Problem serius lainnya dalam pengelolaan BUM Desa adalah eratnya hubungan antara BUM Desa dengan politik di desa, khususnya dalam dinamika pemilihan kepala desa (Pilkades). Konflik yang terjadi dalam Pilkades selalu mempengaruhi pengelolaan BUM Desa. Bahkan BUM Desa yang sudah mapan pun bisa mengalami guncangan bila terjadi pergantian kepemimpinan di desa. Hal ini disebabkan posisi kepala desa yang otomatis menjadi komisaris dan sering menggunakan otoritasnya. Dalam beberapa kasus, BUM Desa tidak bisa menjalankan usahanya dengan baik karena terjadi ketegangan antara pengurus dengan komisaris pengganti. Seorang direktur BUM Desa pernah mengatakan bahwa posisinya terancam oleh ultimatum kepala desa yang baru terpilih. Bahkan unit usahanya yang sudah terintegrasi dengan baik mulai diintervensi.  

Diambil dari buku BUM Desa & Kultur Jaringan di Bantaeng, Sahrul Aksa, FPPD-2014


kirim ke teman | versi cetak

 

Rabu, 30 Oktober 2019 09:33:37 - oleh : admin

Informasi "" Lainnya